SOEHARTO Bukan Dalang G-30 S, Sekilas dari Buku Jokowi UNDERCOVER, oleh Bambang Tri.
Belakangan ini nama dari Bambang Tri sempat melejit, bahkan banyaknya artikel yang bertaburan di sosial media, melempar tanggapan dan pertan...

https://portalnuansa.blogspot.com/2016/12/soeharto-bukan-dalang-g-30-s-sekilas.html
Belakangan ini nama dari Bambang Tri sempat melejit, bahkan banyaknya artikel yang bertaburan di sosial media, melempar tanggapan dan pertanyaan, tentang siapakah sosok dari Bambang Tri, dengan terang-terangan berusaha membeberkan latar belakang Pak Jokowi pada halaman Facebook miliknya, melalui bukunya yang berjudul JOKOWI UNDERCOVER.
Untuk MELIHAT HALAMAN SELANJUTNYA, Berhubung admin Pegel Ngetiknya, Silahkan Lihat langsung pada Print Screen Langsung dari Halaman FANSPAGE KAMI di bawah.
# Saran dan masukan Di tungu.
Berikut Sekilas Isi dari Halaman Buku Jokowi Undercover, di mulai dari halaman 1 sampai 7, selanjutnya silahkan baca melalui link tautan di bawah.
PRAKATA : TEORI REZNIKOV
Soeharto bukan Dalang G-30 S 1965
(Oeh Victor Sumsky, Moskwa}
Apa yang terjadi pada 1965 dan setelahnyaditanggapi oleh Uni Soviet dengan kecemasan dan kepahitan yang mendalam.
Berbagai bentuk kerja sama yang telah dilakukan oleh pihak-pihak Soviet dengan Indonesia sejak pertengahan 1950-an hingga sepuluh tahun berikutnya berakhir secara mendadak.
Banyak orang Indonesia yang selama ini memiliki kontak yang dekat dengan Moskwa tersingkir dari panggung poiitik Indonesia, bersamaan dengan tersingkirnya Presiden Soekarno.
Apa yang terjadi di Indonesia pada 1965 itu bukan hanya hantaman untuk PKI, melainkan juga untuk gerakan komunisme internasional. Dalam konteks Perang Dingin, kehancuran golongan kumunis di Indonesia merupakan kemenangan tersendiri bagi blok Barat.
Bagi para ahli politik di Uni Soviet, apa yang terjadi di Indonesia pada paro kedua dekade 1960-an itu membutuhkan penjabaran dan analisis yang mendalam. Merekapun melakukan berbagai analisis dan menuangkan hasilnya dalam berbagai bentuk tulisan.
Sayangnya, banyak dari tulisan-tulisan itu tidak sempat beredar Iuas. Jumlah eksemplarnya dibuat terbatas, diberi cap "Untuk Keperluan Dinas Saja” (For Use in Ofiice Only) dan hanya dikirim ke pejabat-pejabat tinggi atau perpustakaan-perpustakaan yang tertutup untuk umum. Pokoknya, pemerintah Soviet tidak ingin beredarnya tulisan-tulisan yang berpotensi mempersulit hubungan Soviet-Indonesia.
ltulah nasib yang menirnpa salah satu buku karya Aleksander Borisovich Reznikov (1931-I980), penulis
sejarah dari Uni Soviet. Rezhnikov memiliki bidang minat sejarah yang amat Iuas: dari soal lahirnya gerakan buruh di lnggris hingga soal Politik Timur Komintern dan dari soal Revolusi Islam Iran hingga sejarah moderen Indonesia.
Di antara karya-kanyanya yang terbaik adalah sebuah monografi berbahasa Rusia yang berjudul Indonesia dalam Periode Demokrasi Terpimpin [1969], ya ng ia tulis bersama A.Y. Drugov.
Pada 1977, ia menerbitkan buku lain yang merupakan lanjutan dari monografi itu dengan judul Komplotan di Jakarta. Buku ini ditulis sendiri oleh Reznikov dan diterbitkan sebagai buletin khusus dari lnstitut llmu Ketimuran di Moskwa.
Mengingat buku itu dicetak dalam jumlah yang amat terbatus [275 eksemplarj, muka gagasann, informasi, dan anulisis yang ada di dalamnya tiduk sempat beredar luas.
Penulis beruntung, karena berhasil menemukan buku yang nyaris hilang ditelan zaman itu. Membaca buku Komplotan di Jakarta, orang akan mendapat kesan bahwa penulisnya sangat memahami topiknya, bahkan lebih dari banyak peneliti lain.
Reznikov tampak begitu cermat, begitu piawai, dalam menyelaraskan berbagai keterangan yang disampaikan oleh mereka yang terlibat dalam Gerakan 30 September. la tajam dalam menganalisis berbagai macam kesaksian dan bahan-bahan dari media massa, tekun dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang ada, sebelum akhirnya menyusun teorinya sendiri tentang apa yang Sebenamya terjadi.
Suatu Hal yang patut disesalkan adalah bahwa dia tidak mencantumkan sumber dun referensi yang di gunakan dalam menyusun bukunya. Meski demikiam, hal ini bisa di mengerti. Selama bertahun-tahun in memiliki kaitan yang dekat dengan Bagian internasional dari Komite Sentral PKUS (Partai Komunis Uni Soviet).
Dari bukunya dapat disimpulkan bahwa ia memiliki akses atas dokumen-dokumen sensitif yang dimiliki oleh badan itu dengan konsekuensi ia tidak diizinkan membuka sumber-sumber informasinya.
Pertama-tama, Reznikov ingin menetapkan sampai seberapa jauh keterlibatan PKI dalarn Gerakan 30 September.
Pertanyaanya, apakah PKI bersangkut-paut dengun gerakan itu?
Jawab Rezm'kov: ya, PKI bersangkut-pout, kalau yang dimaksud PKI di sini adaklh Aidit, Syam, dun para pembantu mereka di Biro Khusus, berikut beberapa anggora pucuk pemipinn. Tupi tidak Iebih dari itu.
Lalu, apakah PKI memprakarsai Gerakan 30 September? Tidak, jawab Reznikov. Apakah melalui gerakan itu PKI sedang merencanakan untuk merebut kekuasaan? Juga tidak, simpulnya. Kesimpulan-kesimpulan Reznikov diperkuat dengan argumentasi yang panjang lebar dan cukup meyakinkan.
Kalau memang demikian, siapakah sebenarnya inspirator utama dari Gera kan 30 September itu?
Menurut Reznikov, tidak Iain dani Bung Karno sendiri.
Terhadap pandangan seperti ini, para pengagum sang Pemimpin Besar tentu saja akan mengajukan pertanyaan penuh ironi ini: mana mungkin seorang Kepala Negara yang sedang berkuasa dan amat populer di mata rakyatnya merekayasa kudeta terhadap dirinya sendiri? Paparan yang disampaikan oleh buku Komplotan di Jakarta dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut cukup menarik untuk diperhatikan.
Sesudah menyelami dan mengolah berbagai data yang ia dapatkan dari pers Indonesia waktu itu mengenai sejumlah mutasi dan pengambil-aiihan komando atas berbagai kesatuan TNI, Reznikov berkesimpulan bahwa sekitar pertengahan 1965, pucuk pimpinan AD telah membentuk gabungan kesatuan penggempur yang sangat kuat.
Satuan penggempur itu melibatkan tank—tank, pesawat-pesawat tempur dan pengangkut, meriam-meriam yang bergerak Sendiri, serta pasukan payung.
Semua itu dikumpulkan di bawah Komando Mandala Siaga (Kolaga}. Tapi bukan di Sumatra atau di Kalimantan, sebagaimana dibutuhkan dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia, melainkan di Jawa yang adalah pusat poiitiknya Indonesia.
Sesuai dengan obsewasi Reznikov, apa yang dilakukan oleh Angkatan Darat itu merupakan permulaan suatu kudeta.
Menurut seorang teman akrab dan rekan sekerjanya, Reznikov sudah berkesimpulan demikian sebelum terjadinya Tragedi 1965. Supaya informasi itu cepat-cepat disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, Reznikov pemah dipertemukan dengan Kolonel Jenderal Haji Umar Mamsurov (1903-1958). Tokoh legendaris ini dikenal di kalangan militer Soviet sebagai seorang yang amat cerdik dan berani.
Dalarn Perang Saudara Spanyol, dia bertugas sebagai penasehat pemerintah anti-fasis, bahkan sempat bersahabat dengan Ernest Hemingway.
Mamsurov adalah veteran Perang Dunia II dan penerima Bintang Emas Pahlawan Uni Soviet. Pada 1965, dia menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Intelejen Utama di Staf Umum Angkatan Bersenjata Uni Soviet.
Reznikov dan Mamsurov pemah bertemu dan berbincang-bincang di salah satu stasiun kereta bawah tanah Moskwa. Sesudah mendengar pertirnbangan Reznikov, sang jenderal beruiar : "Anak buah sava belum pernah ada yang melaporkan hal itu“.
Tidak lama kemudian ketiika mengikuti perkembangan Indonesia selanjutnya, Mamsurov berkomentar tentang Rezniknv dan pendapatnya itu: "Orang muda itu benar-benur jenius. Sayang sekali kami tak pernah memperhatikan analisisnya secure serius."
***
Pembersihan Para Jenderal Berhaluan Kanan
Kembaili ke soal pembentukan tinju lapis baja, yang menurut Reznikov dibentuk oleh para pemimpin AD. Siapa sebenarya yang akan menjadi sasaran dari pasukan tersebut? Menurut Reznikov, sasaran utamanya adalah PKI, tapi Bung Karno juga.
Alasan Reznikov, tindakan-tindakan yang diambil oleh para pemimpin AD itu akan secara drastis mengubah seluruh keseimbangan kekuatan politik demi keuntungan tentara.
Kesan seperti itu diperkuat oleh munculnya tanda-tanda saling pengertian antara Ahmad Yani dan Nasution, dua tokoh militer yang paling terkemuka tapi tak selalu bersahabat. Selama ini persaingan antara kedua nya telah dibesar-besarkan oleh Kepala Negara dalam semangat devide et impera.
Untuk MELIHAT HALAMAN SELANJUTNYA, Berhubung admin Pegel Ngetiknya, Silahkan Lihat langsung pada Print Screen Langsung dari Halaman FANSPAGE KAMI di bawah.
# Saran dan masukan Di tungu.